Agama
dapat dipandang sebagai kepercayaan dan pola perilaku yang oleh manusia
digunakan untuk mengendalikan aspek alam semesta yang tidak dapat
dikendalikannya. Karena dalam semua kebudayaan yang dikenal tidak ada sesuatu
yang sungguh-sungguh dengan pasti dapat mengendalikan alam semesta, dengan
demikian agama merupakan bagian dari semua kebudayaan yang manusia ketahui (Haviland, 1993, pp. 196-197). Agama sebagai
sesuatu yang dipercaya dan merupakan kumpulan pola perilaku memiliki sarana yang menghubungkan manusia
dengan dengan sesuatu yang dikeramatkan, hal ini yang disebut agama dalam
praktek. Ritual bukan hanya sarana yang memperkuat ikatan sosial kelompok dan
mengurangi ketegangan, tetapi juga suatu cara untuk merayakan
peristiwa-peristiwa penting. Namun seiring perkembangan jaman berbagai ritual
dan fenomena agama banyak mengalami perubahan nilai dan kepentingan di dalamnya.
Sehingga keaslian praktek beragama itu sendiri mulai dipertanyakan, bahkan
tidak sedikit kelompok masyarakat yang tidak respek dengan konsep agama dan
berbagai pola perilaku di dalamnya, hal ini karena banyak kepentingan yang
menggerakan agama untuk mencapai kepentingan beberapa golongan saja. Jadi,
tidak mengherankan jika banyak fenomena praktek keagamaan yang awalnya murni
bertujuan untuk kepentingan agama dan atas dasar kepercayaan terhadap kekuatan
yang Maha Esa (Tuhan) menjadi suatu fenomena agama yang bertujuan untuk
melancarkan berbagai kepentingan manusiawi manusia itu sendiri, bahkan fenomena
agama banyak dijadikan sebagai kamuflase untuk menutupi keburukan atau
kepentingan yang merugikan manusia lainnya.
Berikut
adalah beberapa fenomena agama yang bertujuan semata-mata bukan untuk agama itu
sendiri, melainkan berbagai tujuan dan kepentingan lainnya. Fenomena yang
sedang marak saat ini di Indonesia adalah ketika mendekati masa Pemilu Kepala
Daerah, banyak dari para calon yang akan maju dalam Pilkada berlomba-lomba
menciptakan citra diri positif dihadapan masyarakat umum salah satunya melalui
jalur praktek keagamaan. Fenomena agama seperti ini pernah saya temukan di
daerah tempat saya tinggal di salah satu Provinsi di Pulau Sumatera. Ketika itu
masa Pilkada sudah mendekati dan memasuki masa kampanye. Salah satu calon yang
kebetulan pada saat sebelum Pilkada adalah seorang Walikota melakukan berbagai
pendekatan praktek keagamaan untuk menarik simpati rakyat dengan tujuan secara
tidak langsung agar memilih calon tersebut dalam Pilkada yang akan datang.
Salah satu fenomena agama yang dilakukan oleh Walikota tersebut adalah ketika
masyarakat muslim akan menyambut tahun baru Islam, Walikota tersebut memberikan
sumbangan sebesar 1 juta rupiah ke seluruh masjid dan kelompok pengajian yang
ada di kota tersebut untuk melaksanakan peringatan tahun baru islam dalam acara
berbagai pengajian di seluruh masjid-masjid di kota tersebut. Tentunya fenomena
ini akan menjadi hal yang sangat baik jika dilakukan atas dasar murni tujuan
untuk kepentingan agama, karena memberikan sumbangan untuk melancarkan kegiatan
keagamaan umat muslim. Namun akan menjadi hal yang menyedihkan jika maksud dan
tujuan kegiatan tersebut adalah satunya untuk kepetingan kampanye calon
tersebut dalam Pilkada dan membuat citra positif dari calon tersebut, agar
masyarakat berpandangan bahwa calon tersebut adalah seseorang yang religius dan
memperhatikan kepentingan agama. Hal tersebut juga diperkuat dengan
diberikannya sumbangan-sumbangan tersebut melalui team pemenangan Pilkada dari
calon yang bersangkutan.
Fenomena
agama lainnya yang masih serupa dengan contoh fenomena diatas adalah fenomena
agama yang sering dilakukan oleh para koruptor di Indonesia, kegiatan agama
sering dijadikan sebagai topeng atau untuk menutupi keberukan dari perilaku
korupsinya tersebut. Misalnya para koruptor tampak rajin sekali melaksanakan
ritual keagamaan dengan melibatkan tokoh-tokoh agam dan masyarakat sekitar
untuk menyelenggarakan acara doa bersama atau acara syukuran. Bahkan dalam
momen tertentu seperti ketika hari raya keagamaan, banyak koruptor yang
memberikan santunan kepada anak yatim atau masyarakat sekitar tempat tinggal
mereka dengan memberikan berbagai jenis makanan dan juga amplop yang berisikan
uang. Jika melihat tindakan yang dilakukan oleh koruptor tersebut sangatlah
jelas bahwa tindakan tersebut sangat dianjurkan dalam agama dan membantu orang
miskin adalah hal yang sangat mulia dihadapan agama dan masyarakat. Namun, jika
maksud dan tujuan dari para koruptor adalah untuk menutupi keburukan atas
perilaku korupsinya dan agama dijadikan sebagai kamuflase atas kejahatannya
terhadap rakyat, sama artinya dengan para koruptor melakukan sebuah perilaku
bentuk pelecehan terhadap agama. Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa
hampir semua koruptor yang hidup di Indonesia semua memeluk agama. Sehingga,
akan sangat mudah bagi para koruptor ini untuk merangkul pemuka agama
seolah-olah mereka orang suci, bersama-sama dengan para pemuka agama mengamini
apa yang dilakukan oleh para koruptor. Fenomena agama yang dilakukan oleh para
koruptor untuk memfungsikan agama sebagai kamuflase atas kejahatannya, sangat
mudah dilihat pada masa kampanye pemilu. Banyak para elite politik yang dimana
banyak diantara mereka adalah koruptor berlomba-lomba memberikan sumbangan dana
pembangunan fasilitas peribadatan atau sarana pendidikan agama untuk memikat
hati rakyat dan seolah menghapus kejahatan yang telah ia lakukan, selain itu
yang semakin memperihatinkan lagi banyak pemuka agama justru gembira dan tidak
keberatan atas tindakan yang dilakukan oleh para koruptor ini.
Kedua
contoh fenomena agama diatas yang dijadikan alat dan sarana kepentingan manusia,
menggambarkan betapa hancurnya moral beberapa manusia dan menghalalkan segala
cara untuk mendapatkan suatu pencitraan, mencapai berbagai kepetingan, dan
menutupi kejahatan apa yang pernah mereka lakukan termasuk menggunakan praktek
keagamaan. Hal ini sangat jelas merusak hakekat dasar dari agama, praktek
keagamaan itu sendiri dan juga kepercayaan masyarakat terhadap praktek-praktek
keagamaan yang diajarkan kepada setiap manusia yang beragama.